top of page

Bab 11 - AFaAK

Ini adalah pertama kalinya Andrea melihat bossnya semarah itu, mata Gilardo menatap mayat Ian dengan tatapan bengis dan sadis. Mulutnya yang kering kemudian memanggil anak buahnya yang berada di depan ruangan untuk masuk ke dalam dan membersihkan mayat Ian secepat yang mereka bisa. Dengan shotgun yang masih ada di tangan, Gilardo menyuruh Andrea untuk duduk di depannya.


“Ambil koper miliknya dan keluarkan isinya.” Perintah Gilardo yang langsung dilakukan Andrea, ketika ia membuka koper itu ia hanya menemukan kertas kontrak, pulpen dan uang yang cukup tebal.


Gilardo kemudian mengambil kertas kontrak itu dan merobeknya menjadi berkeping-keping, dan membuangnya keluar dari jendela. Andrea hanya bisa terdiam melihat bossnya bertindak seperti itu.


“Ambilkan aku kantong uang miliknya.” Andrea bergegas mengambil kantung uang itu yang kini terdapat noda merah darah.


Gilardo kemudian memasukan pulpen dan uang tebal di koper milik Ian dan memasukan semuanya ke dalam kantung uang itu. Lalu Gilardo mengambil kertas kosong dan menuliskan sesuatu di atasnya dengan pena miliknya, dan kemudian memasukan kertas itu ke dalam kantung dan mengikatnya dengan kuat.


“Aku harap kau tidak sibuk hari ini,” kata Gilardo.


“Antarkan ini ke bank, berikan pada siapapun yang bekerja disana. Di dalamnya ada surat dari tulisan tanganku, siapapun yang bekerja disana akan mengerti.” Lanjutnya sembari menyodori kantung uang itu.


Gilardo kemudian mengambil uang banyak sekali dari laci meja miliknya dan memberikannya juga kepada Andrea, Andrea terlihat bingung.


“Itu adalah uangmu, setelah kau mengantarkan itu kau bisa langsung pulang dan bermain dengan anakmu.” Kata Gilardo, dan Andrea senang ketika mendengar bossnya sudah kembali tenang seperti biasanya.


Andrea kemudian bergegas pergi dari gedung Tappeli dan memacu kembali mobilnya menuju satu-satunya bank di kota ini yang terletak cukup jauh dari gedung Tappeli.


Sesampainya disana, Andrea selalu terkesima ketika melihat betapa megah dan mewahnya gedung bank itu, di pintu masuknya terdapat 3 orang penjaga bank yang sudah siap siaga dengan senapan mereka.


Setelah memarkirkan mobilnya di tepi jalan, Andrea keluar dan masuk ke dalam bank sembari menenteng kantung uang yang berdarah itu. Hal ini tentu saja menarik perhatian penjaga bank yang langsung mengarahkan moncong senapan mereka ke arah Andrea yang segera mengangkat kedua tangannya ke udara.


“Aku tahu siapa kau! Apa yang mau kau lakukan di sini?” teriak salah satu penjaga sembari mendekati Andrea secara perlahan, dua penjaga lainnya tetap berada di posisi mereka

sembari masih mengacungkan senapan.


“Aku datang kesini dengan damai, Gilardo menyuruhku untuk memberikan kantung ini. Ini berisikan uang yang dirampas oleh James, di dalamnya kau bisa menemukan surat dari Gilardo yang akan menjelaskan semuanya.” Kata Andrea dengan tenang, penjaga itu meminta kantung tersebut yang langsung Andrea berikan. Kemudian, penjaga itu membuka ikatan kantung itu dan melihat isinya sejenak. Beberapa saat kemudian ia mengangkat tangan kirinya keatas, dan dua penjaga di belakangnya menurunkan senapan mereka, Andrea pun menurunkan kedua tangannya.


“Jadi kau membunuh James?” tanya penjaga itu, Andrea menjawabnya dengan anggukan kepala.


“Gilardo bilang apabila dia juga membunuh Ian, apakah itu benar?” tanyanya lagi.


“Kau tidak percaya apa yang diucapkan oleh Gilardo?” tanya balik Andrea, dan penjaga itu terlihat ketakutan sedikit.


“Baiklah, kau bisa pergi dari sini.” Ucap penjaga itu, Andrea pun segera masuk ke dalam mobilnya lagi dan kembali ke rumahnya yang hangat.


Sesampainya Ia di rumah, hari sudah di waktu senja dan ketika Ia membuka pintu rumah ia langsung disapa dengan pelukan dan kecupan hangat oleh istrinya yang sudah menanti kehadirannya.


“Kerjamu banyak sekali hari ini?” tanya Aurora ketika Andrea menggantungkan topi fedora hitam miliknya.


“Yeah, Gilardo memintaku cukup banyak hal hari ini.” Jawab Andrea sembari melepas jaketnya dan meletakannya di sandaran kursi meja makan, dimana disitu juga ada Natalia dan Patricia yang sedang bermain boneka.


“Aku sampai harus berurusan dengan bank kota ini, tetapi semuanya aman-aman saja kok.” Lanjut Andrea sembari mengusap rambut Aurora yang tersenyum manis ke arahnya.


“Patricia, sudah sore. Ayo kita mandi!” kata Aurora sembari menggendong Patricia untuk mandi, Natalia tertawa melihatnya. Ketika Aurora dan Patricia sudah masuk ke dalam kamar mandi, suasana di meja makan terasa sangat sepi dan hening, karena hanya tersisa Andrea dan Natalia berduaan saja di ruangan itu.


“Kau tidak keberatan, kan?” tanya Andrea sembari mengeluarkan Revolver miliknya, ia baru teringat apabila peluru dari senapannya itu tersisa sedikit. Natalia mengangguk mengerti.


Andrea kemudian dengan cekatan membongkar Revolver miliknya itu satu per satu, mengambil kain dan minyak lalu mulai membersihkan satu per satu bagian Revolver yang sudah dibongkar tadi. Natalia melihatnya dengan tatapan terkesima, seakan-akan apa yang sedang dilakukan oleh Andrea adalah kegiatan paling keren yang pernah Ia lihat.


“Ibu baru saja membersihkan luka biruku.” Kata Natalia tiba-tiba, Andrea menoleh ke arahnya dan menyadari apabila kulitnya yang berwarna hitam gelap itu tidak ada lagi biru-biru lebam.


“Syukurlah, aku juga tidak ingin kau terluka seperti itu lagi.” Balas Andrea, dan Natalia tersenyum manis ke arahnya.


“Kau dulunya seorang tentara ya?” tanya Natalia.


“Yeah, aku membela negara ini di perang dunia kedua.” Jawab Andrea sembari masih membersihkan bagian senapannya.


“Apakah seru? Kau bisa menembak kesana dan kesini! Seperti film yang baru saja aku tonton.” Kata Natalia, Andrea tersenyum ke arahnya.


“Perang sama sekali tidak menyenangkan sayang, disana adalah tempat paling mengerikan.”


“Tetapi kau membunuh banyak sekali musuh, bukan? Kau bahkan dianggap sebagai pahlawan negara setelah kau kembali dari medan pertempuran.” Andrea menoleh ke arahnya, terkejut dengan bagaimana Natalia bisa mengetahui hal tersebut.


“Apakah Aurora memberitahumu hal itu?” tanya Andrea, tetapi Natalia menggelengkan kepalanya dan kemudian mengeluarkan sebuah buku dari bawah meja.


“Aku membacanya di sini, ini buku yang membahas tentang perang dunia kedua secara lengkap.” Jawab Natalia dan Andrea akhirnya mengerti, ia menganggukan kepalanya sekali ke arah Natalia.


“Apa saja yang kau tahu tentang aku?” tanya Andrea dan Natalia tersenyum sembari membuka kembali buku itu.


“Andrea Ventura adalah prajurit Amerika keturunan Italia yang bertugas di Divisi Infanteri ke 29. Dia dan temannya, Peter Raymond -seorang tentara Inggris- dianggap sebagai kunci kemenangan tentara Aliansi untuk memenangkan sektor pantai Omaha dalam pertempuran D-Day.”


“Setelah menguasai pantai Omaha, Andrea dan tentara sekutu lainnya terus menyerang pasukan musuh sampai akhirnya musuh menyerah dan memberikan tanah Perancis yang mereka kuasai.”


“Setelah perang usai, Andrea pulang ke tanah rumahnya dengan segelintir penghargaan di seragamnya. Ia mendapatkan penghargaan tertinggi yakni Medal of Honor yang diberikan langsung oleh presiden.”


“Tetapi, setelah perang usai dan setelah mendapatkan penghargaan tersebut. Andrea Ventura memutuskan untuk pergi dari kegiataan militer, dan menghilang dari pandangan publik.”


“Selesai.” Kata Natalia sembari menutup buku yang Ia baca, Andrea sudah selesai membersihkan senapan miliknya dan juga sudah memasangnya kembali seperti semula.


“Semua yang ditulis di buku itu memang benar adanya, aku masih menyimpan medali itu. Kau mau lihat?” tanya Andrea dan Natalia menganggukan kepalanya dengan semangat,

Andrea kemudian berjalan menuju lemari senjata dan mengambil kotak peluru Revolver dan juga sebuah medali emas berbentuk bintang. Kemudian Ia memberikan medali itu ke Natalia yang terlihat sangat kagum, sementara Andrea mengisi ulang Revolver miliknya dengan peluru.


“Keren, kan?” tanya Andrea sembari mengokang Revolver miliknya, Natalia tersenyum kagum ke arahnya.


“Kau boleh ambil itu, aku pernah memberikannya pada Patricia tapi dia tidak menyukainya karena terlalu tajam.” Sambung Andrea dan Natalia tertawa mendengarnya. Tak berapa lama kemudian, Patricia dan Aurora sudah selesai mandi dan bergabung dengan mereka.


“Sekarang giliran Natalia, ayo sayang.” Ajak Aurora, dan Natalia langsung lari ke dalam pelukan ibunya itu dengan senang. Kali ini, Andrea hanya berdua dengan Patricia, Andrea dengan cepat memasukan Revolver miliknya ke dalam jas.


“Kau sudah makan sayang?” tanya Andrea dan Patricia menganggukan kepalanya sekali.


“Ada cerita yang menarik hari ini?” tanya Andrea lagi, dan wajah Patricia terlihat senang sekali mendengarnya bertanya itu.


“Yeah, aku hari ini menghabiskan waktuku dengan Natalia bermain boneka. Seru sekali!” jawab Patricia dengan gemas, Andrea tersenyum ke arahnya.


“Kau sayang Natalia?” tanya Andrea dan Patricia menatapnya bingung.


“Tentu saja, aku sayang ayah, aku sayang mama, dan aku sayang Natalia.” Jawab Patricia dan Andrea tertawa pelan mendengarnya.


“Kau harus ke sekolah kan besok?” tanya Andrea dan Patricia menganggukan kepalanya.


“Sebelum engkau pergi tidur, bagaimana kalau kita bermain catur?” tanya Andrea dan Patricia terlihat senang sekali mendengar ajakan ayahnya itu, Andrea dan putrinya itu memang sering bermain catur di hari minggu. Meskipun baru berusia 7 tahun, Patricia sudah paham betul bagaimana bermain catur.


Andrea kemudian bergegas menuju kamar miliknya, dan mengeluarkan papan catur yang sudah mulai usang miliknya. Papan catur ini menyimpan banyak sekali sejarah dan kenangan, ini juga adalah saksi mata ketika pertama kalinya Andrea dan istrinya bertemu.


Andrea kemudian membawa papan catur itu ke meja makan, lalu Ia dan Patricia segera memasangkan buah-buah catur sesuai posisi mereka.


Mereka berdua pun terhanyut dalam permainan, baik Andrea maupun putrinya bermain dengan sama baik dan hati-hati. Tak jarang Andrea terkejut dengan gerakan cerdik dari putrinya itu, tetapi untungnya Andrea masih bisa menangani semua masalah di papan catur dengan baik dan tenang.


Tak berapa lama kemudian, Natalia bergabung dengan mereka berdua. Ia membantu Patricia untuk mengalahkan Andrea, dan Andrea juga terkejut ketika mengetahui apabila Natalia juga mahir dalam bermain catur. Aurora yang tampak sudah selesai mandi memilih untuk menyiapkan makanan untuk makan malam, dan sesekali membantu Andrea menyelesaikan masalah di papan catur.


Hari sudah berubah menjadi malam ketika akhirnya permainan telah usai, Andrea berhasil memenangkan pertandingan catur tadi dengan susah payah. Patricia terlihat kesal karena tidak berhasil memenangkan permainan itu sedangkan Natalia tertawa pelan melihat wajahnya yang terlihat gusar.


“Mungkin lain kali sayang.” Kata Andrea sembari mengusap rambut putrinya itu dengan lembut, wajah gusar Patricia akhirnya berubah ketika ibunya menghidangkan makanan lezat di meja makan untuk mereka santap.


“Makan yang banyak.” Perintah Aurora sembari memakan makanannya, mereka semua makan dengan nikmat.


“Jika kalian bisa menjadi bidak catur, kalian ingin menjadi apa?” tanya Aurora, Patricia memikirkan jawabannya sebentar sementara Natalia langsung menjawabnya dengan mantap.


“Aku ingin menjadi seperti Ratu!” kata Natalia, baik Aurora maupun Andrea tersenyum mendengarnya.


“Pilihan yang bagus, itu berarti kau bisa melakukan apapun yang kau inginkan seorang diri.” Kata Aurora, dan Natalia terlihat senang sekali. Sementara itu Patricia masih terlihat bingung hendak menjawab apa.


“Kau tidak tahu ingin menjadi apa?” tanya Natalia, dan Patricia akhirnya menyerah dan menggelengkan kepalanya.


“Kalau ayah ingin menjadi apa?” tanya Patricia, Andrea menghabiskan makanannya terlebih dahulu sebelum menjawab.


“Ayah tentu saja ingin menjadi pion.” Jawab Andrea, dan reaksi mereka setelah mendengar jawaban itu sudah Andrea duga. Ia menoleh ke arah istrinya dan mereka berdua tertawa.


“Tapikan pion itu tidak berguna, mereka hanya menjadi umpan.” Kata Natalia, tetapi Patricia menggelengkan kepalanya tidak setuju.


“Tetapi ketika mereka berada di ujung papan musuh, mereka bisa menjadi apapun yang mereka mau.” Sahut Patricia, dan baik Andrea maupun Aurora sama-sama tersenyum mendengar jawaban putrinya itu.


“Kau benar sayang, itulah alasanku memilih pion,” ucap Andrea, dan kedua putrinya itu mendengarnya dengan seksama.


“Mungkin beberapa tahun kedepan kalian akan paham dengan ucapanku, tetapi kita semua adalah pion. Kita semua memulai hidup kita sebagai sesuatu yang tidak berguna, tetapi ketika kau memutuskan untuk terus maju kedepan, pada akhirnya kau akan berubah seperti apapun yang kau impikan.” Lanjut Andrea, Ia tidak tahu apakah kedua putrinya itu mengerti apa yang baru saja ia katakan, tetapi wajah mereka berdua terlihat kagum.


“Ayahmu dan aku juga bertemu karena papan catur ini.” Kata Aurora, kedua anaknya tersenyum lebar mendengarnya.


“Cerita, cerita, cerita!” kata mereka berdua serempak, Aurora pun akhirnya duduk di samping Andrea.


“2 tahun sebelum Patricia lahir, ayahmu dan aku bertemu di taman kota ini. Ketika itu ayah tampak kelelahan sehabis bekerja.” Kata Aurora, dan Andrea tertawa pelan. Ia tidak kelelahan sehabis bekerja saat itu, melainkan baru saja tersadar akibat meminum terlalu banyak alkohol.


“Ibu datang menghampirinya dan memberikannya sapu tangan karena wajah ayah saat itu terlihat jorok sekali!” lanjutnya dan kedua putrinya tertawa sembari menunjuk ke arah wajah Andrea yang langsung menutupi wajahnya dengan kedua tangan.


“Setelah itu, kami berbicara satu sama lain. Menceritakan tentang siapa kita, dan kebetulan saat itu aku sedang membawa papan catur ini. Karena aku memang suka bermain catur di situ seorang diri, kemudian ayahmu mengajak aku untuk bertanding catur.”


“Siapa yang menang?” tanya Natalia, dan Aurora menoleh ke arah suaminya dan tersenyum licik.


“Ayahmu kalah telak saat itu, ia tampaknya tidak mengerti bagaimana bermain catur.”

Kedua putrinya langsung tertawa keras sekali ketika mendengarnya, Andrea tersenyum ke arah mereka.


“Tetapi setelah menikah dan beberapa tahun mempelajari catur, ayah sudah pernah mengalahkan ibumu ini loh.” Kata Andrea, tetapi Aurora tertawa pelan mendengarnya.


“Berapa kali kau mengalahkanku sayang?” tanya Aurora, dan Andrea pasrah menjawabnya.

“Dua kali.” Jawab Andrea, dan kedua putrinya tertawa lebih keras lagi. Karena kesal, Andrea kemudian menggelitiki perut Patricia dan Natalia yang justru membuat tawa mereka lebih lama dan keras lagi.


Setelah itu, mereka menghabiskan sisa makan malam mereka dengan nikmat dan hangat. Setelah usai, Patricia dan Natalia membantu Aurora untuk mencuci piring sementara Andrea pergi untuk mandi.


Seusai mandi, Andrea menemani kedua putrinya itu belajar untuk esok, Patricia senang sekali menggambar sementara Natalia sangat gemar membaca. Andrea membantu Patricia dalam menggambar dengan menjadi model untuk gambarnya, sementara Aurora membantu Patricia memahami isi buku yang sedang Ia baca.


Andrea merasa senang bisa menghabiskan waktu dengan mereka, dan ketika kedua putrinya itu terlihat lelah. Ia memeluk mereka berdua dan tak lama kemudian, kedua mata mereka tertutup dan sudah tertidur dengan pulas.


Bersambung ...


1 view0 comments

Related Posts

See All

Comments


bottom of page