top of page

Bab 16 - AFaAK

Sayangnya, ketika Peter akhirnya sudah muncul di depan Andrea. Peter segera menembakkan 2 tembakan tak berjeda yang sangat cepat dan mematikan ke arah Andrea.


Untungnya, hanya satu peluru yang berhasil mengenai Andrea dan salah satu peluru itu merobek daun telinga Andrea sampai tak tersisa dan hanya meninggalkan rasa sakit yang teramat sangat.


Kemudian, Andrea melemparkan 2 tembakan balasan yang sama cepatnya yang sialnya tidak mengenai Peter satupun. Tapi hal tersebut mampu memukul mundur Peter dan memaksanya bersembunyi di balik dinding.


Suasana hening untuk beberapa saat, terdengar suara keributan orang dari kejauhan dan suara tetesan darah Andrea yang terus menetes tanpa henti. Peter masih bersembunyi di balik dinding di samping pintu kamar hotel Andrea, Andrea bisa melihat bayangan Peter yang masih berdiri tak bergerak.


Akhirnya, Andrea mempunyai ide gila. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia berlari dan kemudian melemparkan dirinya ke depan ketika melewati pintu kamar hotel, lalu memutar tubuhnya ke samping tepat dimana Peter berdiri tak berkutik dan menembakkan dua peluru yang kedua-duanya mengenai dada Peter.


Andrea jatuh dengan bunyi yang keras ke lantai ketika Ia sudah melemparkan dirinya tadi, dan di depannya Peter merosot secara perlahan dengan mulut yang mengocorkan darah. Senapan Garand di tangannya terlepas dan tampaknya Andrea sudah memenangkan pertempuran.


Selama beberapa saat, mereka berdua tak bersuara sama sekali. Peter masih hidup tapi hanya untuk beberapa saat kedepan, sementara Andrea menahan sakit di sekujur tubuhnya yang penuh darah.


Sampai akhirnya, Andrea bangkit berdiri dengan susah payah dan berjalan beberapa langkah ke arah Peter yang semakin merosot dan mengeluarkan semakin banyak darah dari mulutnya.


“Aku tahu itu kau, aku tahu itu kau.” Kata Peter pelan sekali, Andrea hanya bisa tersenyum tipis ke arahnya.


“Maafkan aku kawan, aku harus melakukan ini.” Balas Andrea sembari duduk di depannya, tetapi bibir Peter tersenyum dan Ia menggelengkan kepalanya pelan.


“Tak perlu, aku menjalankan tugasku dan kau menjalankan tugasmu.” Kata Peter, suaranya semakin pelan.


“Aku juga lebih memilih mati seperti ini.” Lanjutnya dan mereka berdua tertawa bersama-sama. Tetapi tawa mereka terhenti ketika Peter batuk dan darah keluar dari mulutnya lebih banyak lagi.


“Ada kata-kata terakhir kawan?” tanya Andrea sembari bangkit berdiri, Ia juga harus mengobati luka-luka di tubuhnya segera.


“Kau harus berhati-hati dengan Ziotto, kau tak bisa mempercayainya selamanya.” Jawab Peter tetapi Andrea menggelengkan kepalanya sembari mengokang senapannya.


“Disitulah kau salah kawan, Ziotto berpihak pada kami bukan padamu.” Kata Andrea dan kemudian ia menembak kepala temannya itu dan membunuhnya saat itu juga.


Andrea kemudian meninggalkan kawannya itu dengan senapan Garand di sampingnya dan berjalan turun dari Hotel, bertemu dengan beberapa pengunjung hotel yang langsung menjerit ketakutan ketika melihat tubuh Andrea yang penuh akan darah.


“Ada pria yang tewas terbunuh di lantai dua, di dekat kamar nomor 128.” Kata Andrea kepada resepsionis, dan resepsionis itu menganggukan kepalanya kemudian mulai menelpon seseorang. Andrea terus berjalan keluar dan masuk ke dalam mobilnya.


Rasanya sangat lelah dan sakit sekali, tetapi Andrea memaksa dirinya untuk tetap sadar meskipun darahnya berkurang banyak sekali. Ia kemudian memacu mobilnya itu menuju rumah dokter pribadi miliknya yang juga adalah salah seorang anggota Tappeli.


Sesampainya di depan rumah itu, Andrea masuk ke dalam rumah dengan senapan masih di tangan, Ia masuk tanpa mengetuk pintu dimana di dalamnya terdapat seorang pria berusia tua sekali sedang duduk dan membaca koran.


“Hallo Andrea, lama tak berjumpa.” Sapa pria tua itu ketika Andrea menjatuhkan dirinya ke sofa empuk miliknya.


“Aku selalu mengharapkan suatu hari kalian datang kesini sembari membawa makanan, bukan luka.” Kata pria tua itu sembari berjalan ke arah Andrea, pria tua itu membawa semacam kotak berisi peralatan medis.


“Aku bisa memperbaiki bahu dan pahamu, tetapi tidak dengan telingamu.” Lanjut pria tua itu sembari melepas jas Andrea dan kemudian merobek kemejanya di bagian bahu, pria tua itu kemudian memanggil seseorang dan seorang pria kemudian muncul dan memberikan semacam kain dan menekan kedua bahu Andrea dengan keras.


“Tahan, terus tekan.” Kata pria tua itu, kemudian ia merobek celana Andrea di bagian paha dan mulai membersihkan darah di sekitarnya, baru kemudian menutupnya dengan perban yang tebal.


“Buka bajunya.” Perintah pria tua itu, dan satu pria lainnya membuka kemeja Andrea. Dengan gerakan cepat, pria tua itu melilit bahu Andrea dengan perban yang tebal.


“Aku baru saja menghentikan pendarahannya, sekarang bawa dia ke bak es.” Kata pria tua itu, dan tubuh Andrea di angkat dengan mudah oleh pria satunya dan kemudian Ia merasakan tubuhnya sangat amat dingin. Karena saat ini dia sedang berada di bak mandi yang berisikan es batu halus yang dingin sekali sampai ke lehernya.


“Kau kehilangan sebagian telingamu, tetapi untungnya tidak mengganggu pendengaranmu sama sekali.” Kata pria tua itu, tubuh Andrea terasa sangat rileks sekali.


“Mark, ikatkan kain di kedua bahunya.” Perintah pria tua itu, dan pria satunya lagi yang bernama Mark segera mengikat bahu Andrea dengan semacam kain pakaian yang panjang, ikatannya menutupi luka tembak milik Andrea dan kemudian Mark mengikatnya dengan kencang sekali.


“Angkat paha kirimu Andrea.” Perintah pria tua itu dan Andrea melakukannya dengan susah payah. Dengan cepat pria tua itu membuka kembali perban Andrea dan tanpa aba-aba menyuntikan sesuatu ke dekat luka Andrea. Dimana Andrea langsung merasa rileks dan tenang sekali, rasa sakitnya hilang dan Andrea bisa merasakan darahnya berhenti mengalir keluar.


“Aku akan mengambil pelurunya, jangan bergerak dan jangan pingsan. Kau lakukan salah satu hal itu dan kau akan mati.” Kata pria tua itu, dan kemudian ia menggunakan semacam pencapit kecil dan menarik keluar peluru di paha kiri Andrea, sakitnya menjalar di sekujur tubuh Andrea tetapi Andrea menahannya.


“Belum selesai, sekarang aku akan menjahit lukamu agar tertutup.” Lanjut pria tua itu, dan dengan cekatan ia menyuntik Andrea lagi baru kemudian menjahit lukanya, sakitnya tidak bisa digambarkan dengan kata-kata.


Kemudian, pria tua itu melakukan hal yang sama di kedua bahu Andrea. Ketika sudah selesai, hari sudah gelap sekali dan Andrea akhirnya di perbolehkan untuk keluar dari bak es itu.


Tubuhnya terasa kaku dan masih sakit, jalannya sedikit pincang tetapi selebihnya dia baik-baik saja. Andrea berjalan ke arah senapannya dan kemudian barulah Ia sadar apabila di ujung gagang senapan Enfield terdapat semacam tempat untuk menyimpan sebuah puntung rokok, Andrea pun mengambil rokok itu dan menyalakannya. Tubuhnya terasa jauh lebih baik dari sebelumnya.


“Terimakasih banyak Rio, kau menyelamatkan nyawaku lagi.” Kata Andrea sembari duduk di hadapan pria tua yang bernama Rio itu.


“Tak apa, memang sudah tugasku.” Balas Rio sembari menyodorkan Andrea segelas air putih.


“Aku sudah menelpon Gilardo, aku bilang kau akan menginap di sini dan baru bisa mengunjunginya esok.” Lanjut Rio.


“Lawanmu kali ini bukan manusia biasa ya.” Kata Rio, karena Andrea hanya pernah kesini sebanyak dua kali seumur hidupnya.


“Dia bukan manusia biasa, dia adalah teman lamaku di era Perang Dunia dua yang lalu.” Balas Andrea dan Rio tertawa mendengarnya.


“Hidup memang aneh, kau bertemu dengan kawan lamamu yang sekarang adalah musuhmu.” Ucap Rio dan Andrea tertawa.


“Aku membaca koran tadi pagi, dan perampasan di kota ini kembali terjadi lagi. Banyak sekali bisnis-bisnis di kota ini yang dirampas oleh orang.” Kata Rio.


“Aku dengar toko milik Gilardo kembali dirampas oleh seseorang, sampai sekarang Gilardo masih tidak tahu siapa perampas itu.” Kata Rio, Andrea menghisap rokoknya terlebih dahulu sebelum menjawab.


“Kepolisian di kota ini sudah kami binasakan, maka satu-satunya orang yang ingin menjatuhkan kita adalah Mafia Arnaldo. Aku yakin merekalah yang merampas bisnis milik Gilardo.” Balas Andrea dan Rio menatapnya lama.


“Dugaanmu ada benarnya juga, selain Arnaldo tidak ada yang berani melawan Gilardo. Wah, kalau sampai dua Mafia ini bertarung bisa kacau kota ini.” Kata Rio dan Andrea setuju padanya.


“Semoga saja hal itu tidak terjadi, kalau sampai terjadi aku tidak sanggup merawat luka kalian semua dengan hanya Mark seorang diri di sini.” Lanjut Rio dan ia bangkit berdiri.


“Istirahatlah, kau perlu itu. Jika kau butuh telepon, kau boleh menggunakannya.” Kata Rio sembari berjalan pergi, meninggalkan Andrea sendiri.


Andrea kemudian memaksa dirinya untuk bangkit berdiri dan berjalan menuju telepon rumah Rio, lalu memutar nomornya dan menunggu suara balasan.


“Hallo?” tanya Aurora dari balik telepon, suaranya terdengar lelah sekali.


“Kau baik-baik saja?” tanya Andrea.


“Yeah, sekarang pukul 4 pagi kau tahu. Kau tak kenapa-kenapa sayang?” tanya balik Aurora.


“Aku tak apa, aku sudah menjalankan tugasku. Tetapi mungkin aku akan telat untuk kesana, ternyata masih ada beberapa urusan yang harus ku selesaikan terlebih dahulu.” Jawab Andrea dan hening sesaat.


“Aku mengerti, dan aku yakin Aurora dan Natalia juga mengerti hal itu. Aku hanya ingin kau selalu aman dan tak kenapa-kenapa.” Kata Aurora dan Andrea tersenyum, luka-luka di tubuhnya seakan sembuh begitu saja ketika mendengar istrinya berbicara seperti itu.


“Aku akan baik-baik saja, aku berjanji.” Kata Andrea.


“Baiklah, kau lebih baik pergi tidur kembali sayang. Selamat malam.” Lanjut Andrea dan sambungan telepon terputus. Kemudian Andrea berjalan menuju kamarnya sementara dan langsung tertidur pulas ketika Ia merebahkan tubuhnya di kasur yang empuk itu.


Ketika sinar mentari menyambut Andrea keesokan paginya, Andrea merasa seperti manusia baru yang tidak pernah merasakan sakit. Ajaibnya, rasa sakit Andrea sudah hampir tidak terasa lagi dan dengan semangat Ia bangkit dari kasurnya dan menemukan kaos hitam baru dan juga celana panjang berwarna hitam baru di sisi kasur.


Tanpa bertanya-tanya lagi, Andrea menggunakan pakaian barunya itu dan kemudian Ia berjalan menuju jas hitamnya yang di kedua bahunya sudah robek dan membawa jas itu lalu berjalan ke ruang makan, dimana Rio dan Mark sudah duduk dan menyantap sarapan mereka.


“Bolehkah aku meminjam jas milikmu?” tanya Andrea sembari menunjukkan jas miliknya yang sudah robek.


“Makan terlebih dahulu, setelah itu aku akan meminjamkanmu.” Jawab Rio sembari menyuruh Andrea duduk, Andrea pun duduk dan meletakkan jas robeknya itu di sandaran kursi dan mulai menyantap sarapan.


Seusai sarapan, Rio keluar dari kamarnya sembari membawa jas berwarna hitam gelap yang terlihat mewah sekali. Andrea merasa sungkan mengambilnya karena dengan hanya sekali lihat Andrea bisa tahu apabila jas itu berharga sangat mahal sekali.


“Kau yakin?” tanya Andrea ketika Rio semakin mendekat, tetapi Rio malah tersenyum.


“Ini adalah jas terbaik milikku, tetapi sekarang sudah tidak muat di badanku. Ambillah ini, lagipula aku juga sudah tidak membutuhkannya lagi.” Jawab Rio sembari menyodorkan jas itu ke tangan Andrea, Andrea pun segera memakainya dan ternyata terasa pas sekali.


“Terimakasih banyak.” Kata Andrea sembari mulai memindahkan barang-barang di jas lamanya ke saku jas baru miliknya itu. Revolver, peluru Enfield dan juga peluru Revolver miliknya semuanya muat ke dalam saku jas baru ini.


“Kau harus menggunakan pakaian terbaikmu jika kau ingin bertemu dengan Gilardo, dia kan selalu bilang seperti itu.” Kata Rio dan Andrea tertawa mendengarnya.


“Mark sudah membersihkan dan mengisi ulang senapan Enfield mu itu, kau mempunyai senapan yang sangat hebat dan mematikan.” Lanjut Rio sembari menunjuk ke arah senapan Enfield yang terletak di sofa.


“Aku heran, mengapa kau tidak membawa senapan Garand. Kau kan veteran perang dunia kedua, sama sepertiku.” Lanjut Rio, kali ini ia mengarahkan jempolnya ke belakang, ke arah senapan M1 Garand yang terpajang di dinding.


“Aku tak pernah tahu apabila kau adalah veteran juga.” Kata Andrea, ia memang baru tahu apabila Rio adalah veteran perang dunia kedua sama seperti dirinya.


“Kau kan jarang ke sini, jadi aku tak pernah berbicara banyak hal denganmu. Tetapi ya, aku adalah veteran perang. Tidak secemerlang engkau memang, tetapi aku masih bisa hidup di neraka dunia itu, dan aku sangat bangga.” Balas Rio dan Andrea tersenyum kepadanya.


“Aku tidak akan pernah mau untuk ikut perang lagi, cukup sekali saja.” Lanjut Rio tetapi dari kejauhan, Mark melihatnya dengan tatapan tak senang.


“Aku ingin ikut perang!” kata Mark, baru kali ini Andrea menyadari apabila Mark terlihat sangat muda sekali, mungkin baru berusia awal 20 tahun-an.


“Tidak! Kau tidak akan ikut perang! Dunia sudah aman, tak perlu lagi ada perang!” sahut Rio dengan teriakan.


“Aku benci tempat ini, aku ingin menunjukan dunia apabila aku sanggup melawan mereka!” sahut Mark, dan dengan gerakan cepat Andrea mengambil Revolver miliknya dari saku jas dan menembakannya tepat ke arah kepala Mark, namun sengaja Andrea belokan sedikit agar tidak melukai Mark.


Mark langsung terdiam tak berkutik, sementara Rio memegang dadanya dan terduduk dengan lemas. Andrea mengelus pundak Rio berusaha untuk menenangkannya.


“Jika kau ikut perang sekarang, kau akan mati dalam hitungan detik anak muda.” Kata Andrea, Mark masih bisu tak bersuara.


“Ayahmu benar, perang itu adalah neraka dunia. Tak ada manusia satupun yang seharusnya pergi ke sana.” Lanjut Andrea, Rio sudah terlihat lebih tenang.


“Aku bertugas untuk mengambil alih pantai Omaha dari tangan musuh, ketika pasukanku dan yang lainnya menerjang pantai. Banyak sekali teman-teman reguku tewas dalam hitungan detik, banyak juga dari mereka yang tewas terbunuh bahkan sebelum mereka menginjakkan kaki di pasir pantai.”


“Orang tua mereka membesarkan mereka dengan susah payah dan penuh perjuangan, tetapi hasilnya mereka tewas begitu saja dalam hitungan detik. Perang bukanlah harapan semua orang, tak ada satupun manusia di dunia ini yang ingin perang.”


“Ayahmu juga benar, kau seharusnya merasa beruntung dan bersyukur karena tidak perlu ikut pertempuran dalam hidupmu.”


“Percayalah, tak ada yang bisa kau bawa pulang setelah kau kembali dari medan pertempuran selain rasa bersyukur. Rasa bersyukur karena kau masih bisa hidup setelah melewati itu semua.” Entah mengapa Andrea malah teringat wajah Aurora dan Natalia yang berada jauh darinya.


“Banyak sekali keluarga yang di tinggalkan begitu saja oleh orang tercinta mereka, dan negara ini tidak akan pernah menganggapmu, prajurit yang tewas beberapa detik setelah pertempuran dimulai, sebagai seorang pahlawan. Mereka hanya menganggapmu sebagai manusia biasa.”


“Tugasmu sekarang hanyalah satu, jaga dan rawatlah ayahmu ini. Terkadang kau tidak akan mendapatkan apapun yang kau mau, jadi selalu bersyukurlah dengan apa yang telah kau punya saat ini.” Kata Andrea dan kemudian Ia pamit kepada Rio, sebelum pergi meninggalkan rumah itu. Andrea mengambil senapan Enfieldnya baru berjalan keluar dari rumah.


Setelah keluar dari rumah itu, Andrea menghirup udara dingin kota sedalam-dalamnya. Kini, ia sudah tidak mempunyai beban apapun lagi. Kini, ia sudah bisa bebas dari kota ini dan berkumpul bersama keluarganya jauh dari sini.


Lalu, Andrea berjalan ke mobilnya dan mulai memacu mobilnya dengan santai menuju tempat Gilardo berada.


Bersambung ...


0 views0 comments

Related Posts

See All

Comments


bottom of page